A.PENGERTIAN
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT (CURANG)
Kata “ monopoli “
berasal dari kata Yunani yang berarti “ penjual tunggal “. Disamping itu
istilah monopoli sering disebut juga “Antitrust” untuk pengertian yang sepandan
dengan istilah “ antimonopoli “ atau istilah “dominasi” yang dipakai oleh
masyarakat Eropa yang artinya sepadan dengan arti istilah “ monopoli “
dikekuatan pasar. Dalam praktek keempat istilah tersebut yaitu istilah monopoli,
antitrust, kekuatan pasar dan istilah dominasi saling ditukarkan pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu keadaan dimana
seseorang menguasai pasar, dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk
subtitusi atau produk subtitusi yang potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku
pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa
mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan pasar.
Menurut UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 1 UU Antimonopoli, Monopoli adalah
penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok usaha.
Persaingan usaha tidak
sehat (curang) adalah suatu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa dilakukan dengan cara
melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Dalam UU nomor 5 tahun
1999 pasal 1 butir 6 UU Antimonopoli,’Persaingan curang (tidak sehat ) adalah
persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha’.
B. Ruang Lingkup Aturan Antimonopoli
Dalam Undang-undang
Fair Trading di Inggris tahun 1973, istilah Monopoli diartikan sebagai keadaan
di mana sebuah perusahaan atau sekelompok perusahaan menguasai sekurang-
kurangnya 25 % penjualan atau pembelian dari produk-produk yang ditentukan .
Sementara dalam Undang-Undang Anti Monopoli Indonesia , suatu monopoli dan
monopsoni terjadi jika terdapatnya penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 %
(lima puluh persen ) pasal 17 ayat (2) juncto pasal 18 ayat (2) ) Undang-undang
no 5 Tahun 1999
Dalam pasal 17 ayat (1)
Undang- undang Anti Monopoli dikatakan bahwa “pelaku usaha dilarang melakukan
penguasaan pasar atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak
sehat”, sedangkan dalam pasal 17 ayat (2) dikatakan bahwa “pelaku usaha patut
diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan
belum ada subtitusinya;atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat
masuk kedalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha mengusasai lebih dari 50 % (lima puluh persen ) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Sementara itu,
pengertian posisi dominan dipasar digambarkan dalam sidang-sidang Masyarakat
Eropa sebagai :
1. Kemampuan untuk bertindak secara merdeka
dan bebas dari pengendalian harga, dan
2. Kebergunaan pelanggan, pemasok atau
perusahaan lain dalam pasar, yang bagi
mereka perusahaan yang dominant tersebut merupakan rekan bisnis yang
harus ada
3. Dalam ilmu hukum monopoli beberapa sikap
monopolistik yang mesti sangat dicermati dalam rangka memutuskan apakah suatu
tindakan dapat dianggap sebagai tindakan monopoli.
Sikap monopolistik
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mempersulit masuknya para pesaing ke dalam
bisnis yang bersangkutan
2. Melakukan pemasungan sumber suplai yang
penting atau suatu outlet distribusi yang penting.
3. Mendapatkan hak paten yang dapat
mengakibatkan pihak pesaingnya sulit untuk menandingi produk atau jasa
tersebut.
4. Integrasi ke atas atau ke bawah yang dapat
menaikkan persediaan modal bagi pesaingnya atau membatasi akses pesaingnya
kepada konsumen atau supplier.
5. Mempromosikan produk secara besar-besaran
6. Menyewa tenaga-tenaga ahli yang berlebihan.
7. Perbedaan harga yang dapat mengakibatkan
sulitnya bersaing dari pelaku pasar yang lain
8. Kepada pihak pesaing disembunyikan
informasi tentang pengembangan produk , tentang waktu atau skala produksi.
9. Memotong harga secara drastis.
10. Membeli atau mengakuisisi pesaing- pesaing
yang tergolong kuat atau tergolong prospektif.
11. Menggugat pesaing-pesasingnya atas tuduhan
pemalsuan hak paten, pelanggaran hukum anti monopoli dan tuduhan-tuduhan
lainnya. ( Andersen, William R, 1985:214 dalam Munir Fuady, 2003: 8).
C. TUJUAN ANTI MONOPOLI
Tujuan hukum
antimonopoli diciptakan adalah:
• Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat
• Mengwujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,pelaku usaha
menegah dan pelaku usaha kecil
• Mencegah praktek monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha
• Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha
Untuk mencapai tujuan
tersebut,ada beberapa perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang yang
dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
D. Perjanjian yang dilarang
Salah satu yang diatur dalam UU
Antimonopoli adalah dilarangnya perjanjian tertentu yang dianggap dapat
menimbulkan monopoli atau persaingan curang.Dalam pasal1 butir 7 UU
Antimonopoli ,perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik secara tertulis
maupun secara lisan.Perjanjian yang dilarang dalam hukum anti monopoli yang
dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan curang,diantaranya:
Oligopoli
Oligopoli adalah
keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah
sedikit,sehingga mereka atau seseorang dari mereka dapat mempengaruhi harga
pasar.
Menurut UU Antimonopoli
pasal 4 ayat 1 dan2,pengertian oligopoli adalah:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain secara bersama sama dalam melakukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang/jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan persaingan curang.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa
Karakteristik barang-
barang yang biasa diperdagangkan di pasar oligopoly adalah:
a. Barang barang homogen,misalnya
bensin,minyak mentah,tenaga listrik ,batu bara,kaca,bahan bangunan,pupuk,pipa
dan baja.
b. Struktur pasar oligopoly biasanya ditandai
dengan kekuatan pasar pelaku usaha yang
kurang lebih sebanding dengan pelaku usaha sejenis ,baik dari segi modal maupun
dari segi segmen
c. Hanya sedikit perusahaan dlam industry
d. Pengambilan keputusan yang saling
mempengaruhi
e. Kompetisi nonharga
Praktik oligopoli
umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan
perusahaan-perusahaanpotensial untuk masuk ke pasar.Tujuan perusahaan melakukan
oligopoli adalah sebagai salah satu usaha untuk menikmati laba normal dibawah tingkat
maksimum
Penetapan harga(price fixing)
Perjanjian penetapan
harga yang dilarang dalam UU anti monopoli meliputi empat jenis perjanjian
yaitu:
a. Penetapan harga(price fixing)
b. Diskriminasi harga(price discrimination)
c. Penetapan harga dibawah harga pasar atau
jual rugi(predatory pricing)
d. Pengaturan harga jual kembali(resale price
maintenance)
A. Penetapan harga(price fixing)
Larangan perjanjian
penetapan harga terdapat dalam UU no.5 tahun 1999 pasal 5.Larangan penetapan harga
adalah pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas suatu barang /jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan.penetapan harga ini dilarang karena
penetapan harga bersama sama akan menyebabkan tidak berlakunya hokum pasar
tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan.
Namun larangan
perjanjian penetapan harga dikecualikan terhadap 2 hal yaitu:
• Perjanjian yang didasarkan oleh UU yang berlaku,termasuk
penetapan harga yang diizinkan atau dikordinasi pemerintah
• Perjanjian penetapan harga yang dibuat
dalam suatu usaha patungan
B. Diskriminasi harga(price discrimination)
Dalam UU no.5 tahun
1999 pasal 6 ,pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang
harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang yang sama.
Macam-macam
diskriminasi harga,diantaranya:
Diskriminasi harga primer
Diskriminasi harga sekunder
Diskriminasi harga umum
Diskriminasi harga geografis
Diskriminasi harga tingkat pertama
Diskriminasi harga tingkat kedua
Diskriminasi harga secara langsung
Diskriminasi harga secara tidak langsung
C. Penetapan harga dibawah harga pasar atau jual rugi
Dalam UU no.5 tahun
1999 pasal 7, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar yang dapat mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat
Penetapan harga dibawah
harga pasar atau penetapan harga dibawah harga marjinal (antidumping) agar
pesaingnya mengalami kerugian karena barang/jasanya tidak laku padahal harga
barang sesuai dengan harga pasar.
D. Penetapan harga jual kembali
Dalam UU no.5 tahun
1999 pasal 8,pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa penerima barang /jasa tidak akan menjual atau
memasok kembali barang/jasa yang diterimanya dengan harga yang lebih rendah
dari harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian pemboikotan(Group Boycot)
Perjanjian pemboikotan
merupakan salah satu strategi yang dilakukan diantara pelaku usaha lain dari
pasar yang sama. Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha
yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Ada 2 macam prjanjian
pembloikotan yang dilarang dalam UU no.5 tahun 1999 pasal 10 yaitu:
Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan usaha yang sama ,baik untuk tujuan pasar dalam
maupun luar negri
Perjanjian untuk menolak dalam menjual
setiap barang dan jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut
merugikan pelaku usaha lain dan membatasi pelakku usaha lain dalam menjual atau
membeli setiap barang/jasa yang bersangkutan
Perjanjian kartel
Larangan perjanjian
kartel diatur dalam UU no.5 tahun 1999 pasal 11 yang berbunyi” pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk
memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat.Perjanjian kartel merupakan perjanjian yang kerap kali terjadi dalam
praktek monopoli.
Perjanjian kartel
merupakan salah satu perjanjian yang kerap kali terjadi dalam praktik monopoli.
Secara sederhana, kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya. Dengan kata lain, kartel (cartel) adalah
kerjasama dari produesen-produsen produk
tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, serta harga untuk
melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.
Praktik kartel
merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat
memengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi
apabila produksi mereka di dalam pasar dikurangi, sedangkan permintaan terhadap
produk mereka di dalam pasar tetap maka akan berakibat pada terkereknya harga
ke tingkat yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila di dalam pasar produk mereka
melimpah, sudah tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di
pasar.
Membanjirnya pasokan
dari produk tertentu di dalam sebuah pasar dapat membuat harga produk tersebut
di pasar menjadi lebih murah, kondisi ini akan menguntungkan pihak konsumen,
tetapi tidak sebaliknya bagi pelaku usaha (produsen atau penjual). Semakin
murah harga produk mereka di pasar, membuat keuntungan yang akan di peroleh
oleh pelaku usaha tersebut menjadi berkurang atau bahkan rugi apabila produk
mereka tidak terserap oleh pasar.
Agar harga produk di
pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian di
antara mereka untuk mengatur jumlah produksi sehingga jumlah produksi mereka di
pasar tidak berlebih. Tujuan nya adalah agar tidak membuat harga produk mereka
di pasar menjadi lebih murah. Namun terkadang, praktik kartel tidak hanya
bertujuan untuk menjaga stablitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga
untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka
secara signifikan di pasar sehingga menyababkan di dalam pasar mengalami
kelangkaan. Akibatnya, konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat
membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat di lakukan tujuan
utama dari praktik kartel adalah untuk mengeruk sebanyak mungkin surplus
konsumen ke produsen.
E. Perjanjian Trust
Larangan perjanjian trust ini di atur dalam
pasal 11 UU Antimonopoli yang menyatakan bahwa palaku usaha di larang membuat
perjanjian dengan palaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas
barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Untuk dapat mengontrol produksi atau
pemasaran produk di pasar, para pelaku usaha ternyata tidak hanya cukup dengan
membuat perjanjian kartel di antara mereka, tetapi juga mereka terkadang
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar (trust), dengan
tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan
atau perseroan anggotanya. Trust merupakan wadah antar perusahaan yang di
desain untuk membatasi persaingan dalam biidang usaha atau industry tertentu.
Gabungan antara beberapa perusahaan dalam bentuk trust di maksudkan untuk
mengendalikan pasokan secara kolektif, dengan melibatkan trustee sebagai
koordinator penentu harga.
F. Perjanjian Oligopsoni
UU antimonopoli mengatur larangan
perjanjian oligopsoni dalam pasal 13 sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama mengusai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang
dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut di duga atau di anggap
secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana di
maksud dalam ayat ayat (1) apabila 2(dua) atau 3(tiga) pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% panga pasar satu Janis barang
atau jasa tertentu.
Oligopsoni adalah
struktur pasar yang di dominasi oleh sejumlah konsumen yang memiliki control
atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur pasar
oligopoly. Hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input. Dengan
demikian, distorsi yang di timbulkan oleh kolusi antar pelaku pasar akan
mendistorsi pasar input. Oligopsoni
merupakan salah satu bentuk praktik antipersaingan yang cukup unik. Hal ini
karena dalam praktik oligopsoni, yang menjadi korban adalah produsen atau
penjual, sedangkan biasanya untuk bentuk-bentuk praktik antipersaingan lain
(seperti penetapan harga, diskriminasi harga, dan kartel) yang menjadi korban
umum nya adalah konsumen. Dalam oligopsoni, konsumen membuat kesepaktan dengan
konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara bersama-sama dapat menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan yang pada akhirnya dapat mengendalikan harga
atas barang atau jasa pada pasar yang bersangkutan. Dengan demikian, secara
sederhana dapat di katakan bahwa ologopsoni adalah keadaan ketika dua atau
lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
atas barang dan/atau jasa dalam sebuah pasar komoditas.
Dengan adanya praktik
oligopsoni, produsen atau penjual tidak memiliki alternatif lain untuk menjual
produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian
oligopsoni. Tidak adanya pilihan lain bagi pelaku usaha untuk menjual produk mereka selain
kepada pelaku usaha yang melakukan praktik oligopsoni, mengakibatkan mereka
hanya dapat menerima harga yang sudah di tentukan oleh pelaku usaha yang
melakukan praktik oligopsoni.
Dalam oligopsoni, ada
beberapa hal yang perlu di perhatikan, yakni kemungkinan-kemungkinan perjanjian
tersebut memfasilitasi kolusi penetapan harga sehingga menimbulkan efek
antipersaingan. Perjanjian tersebut tidak akan memfasilitasi kolusi harga
apabila pembelian produk yang di lakukan dengan perjanjian ini hanya berjumlah
relatif kecil terhadap total pembelian di pasar tersebut. Selain itu, apabila
perjanjian tidak menghalangi anggotanya untuk melakukan pembelian kepada pihak
lain secara independen maka joint purchasing tersebut tidak merugikan
persaingan.
G. Perjanjian Integrasi Vertikal (Vertical
Integration)
Pasal 14 UU Antimonopoli mengatur bahwa
pelaku usaha di larang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan/atau jasa tetentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.
Integrasi vertical merupakan perjanjian
yang terjadi antara beberapa pelaku usaha yang berada pada tahapan produksi
atau operasi dan/atau distribusi yang berbeda, namun saling terkait. Bentuk
perjanjian yang terjadi berupa penggabungan beberapa atau seluruh keigatan
operasi yang berurutan dalam sebuah rangkaian produksi atau operasi.
Mekanisme hubungan antara satu kegiatan
usaha dengan kegiatan usah lainnya yang bersifat integrasi vertical dalam
perspektif hokum persaingan, khususnya UU no 5 tahun1999 di gambarkan dalam
suatu rangkaian produksi atau operasi. Rangkaian ini merupakan hasil pengolahan
atau proses lanjutan, baik dalam suau rangkaian langsung maupun tidak langsung
(termasuk juga rangkaian produksi barang dan/atau jasa substitusi dan/atau
komplementer). Lebih lanjut, mekanisme hubungan kegiatan usaha yang bersifat
integrasi vertical dapat di lihat pada skema produksi yang menggambarkan
hubungan dari atas ke bawah, yang sering di sebut juga dengan istilah dari
suatu kegiatan usaha yang di kategorikan sebagai integrasi vertical ke belakang
atau ke hulu, yaitu apabila kegiatan tersebut mengintegrasikan beberapa
kegiatan yang mengarah pada penyediaan bahan baku dari produk utama.
H. Perjanjian Tertutup (Exlusive Dealing)
Larangan perjanjian tetutup di atur dalam
pasal 15 UU Antimonopolu sebagai berikut:
1. Pelaku usaha di larang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau
jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau jasa ke pada tempat tertentu.
2. Pelaku usaha di larang membuat perjanjian
dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari
pelaku usaha pemasok.
3. Pelaku usah di larang membuat perjanjian
mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang
memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari
pelaku usaha pemasok.
a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa
lain dari pelaku usaha pemasok,
b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa
yang asama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku
usaha pemasok.
Perjanjian tertutup
adalah suatu pernjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang
berbeda pada proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.
Perjanjian tertutup ini terdirid atas exlusive distribution agreement dan tying
agreement.
I. Exlusive Distribution Agreement
Exlusive Distribution Agreement yang di
maksud adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima pihak hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk
tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata
lain pihak distributor di paksa hanya boleh memasok produk kepada pihak
tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.
Permsalahan dalam perjanjian tertutup
adalah kemungkinan matinya suatu pelaku usaha karena tidak mendapatkan bahan
baku atau tidak mempunyai distributor yang akan menjual produknya. Selain itu,
perjanjian tertutup juga, dapat menyebabkan meningkatnya halangan untuk masuk
ke pasar.
Exlusive distribution agreement biasanya di
buat oleh pelaku usaha manufaktur yang memiliki beberapa perusahaan yang
mendistribusikan hasil produksinya. Pelaku usaha tersebut tidak menghendaki
terjadinya persaingan di tingkat distributor sehingga dapat berpengaruh
terhadap harga produk yang mereka psaok ke pasar. Agar harga produk mereka
tetap stabil, pihak manufaktur membuat perjanjian dengan
distributor-distributor nya untuk membagi konsumen dan dan wilayah pasokan agar
tidak terjadi bentrokan antar sesame distributor atau tidak terjadi persaingan
intrabrand.
J. Tying Agreement
Tying agreement terjadi apabila suatu
perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang berada pada
level yang berbeda dengan mensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barnag
atau jasa yang hanya akan di lakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga
akan membeli atau menyewa barang lainnya.
Melalui praktik tying agreement, pelaku
usaha dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying
produk (barang atau jasa yang pertama kali di jual) ke tied produk (barang atau
jasa yang di paksa harus di beli juga oleh konsumen). Dengan memiliki kekuatan
monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying produk dan tied produk), pelaku
usaha dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam pasar. Agar
perusahaan competitor dapat bersaing maka mau tidak mau harus melakukan hal
yang sama, yaitu melakukan praktik tying
agreement.
K. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Peranjian dengan pihak luar negeri menjadi
terlarang jika melakukan perjanjian yang dapat merusak persaingan usaha dan
melakukan tindak monopoli. Larangan perjanjian dengan pihak luar negeri dalam
pasal 16 UU Antimonopoli yang berbunyi “Pelaku usaha di larang membuat
perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopolidan atau persaingan usaha tidak
sehat”.
Berdasarkan pasal tersebut, terdapat
ketentuan khusus untuk melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain. Adapun
pengguna pasal ini adalah pada kasus bilamana suatu perusahaan asing tidak
melakukan kegiatan di pasar Indonesia, tetapi berpengaruh dengan pasar
Indonesia melalui perjanjian. Dengan kata lain, pasal 16 UU Antimonopoli tidak
dapat di terapkan terhadap perjanjian bilamana kedua belah pihak berkedudukan
di luar negeri, sedangkan dampaknya hanya terasa di Indonesia.
L. Kegiatan yang di larang
a) Monopoli
Monopoli merupakan
masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan hukum
persaingan usaha.monopoli itu sendiri sebenarnya bukan merupakan suatu
kejahatan atau bertentangan dengan hkum apabila diperoleh dengan cara-cara yang
adil dan tidak melanggar hukum.oleh karena itu,monopoli belum tentu dilarang
oleh hukum persaingan usaha.yang dilarang justru adalah perbuatan-perbuatan
dari perusahaan yang mempunyai monopoli untuk menggunakan kekuatannya di pasar
bersangkutan yang biasa disebut sebagai praktik monopoli (monopolizing) atau
monopolisasi.sebuah perusahaan dikatakan telah melakukan monopolisasi apabila
pelaku usaha mempunyai kekuatan untuk mengeluarkan atau mematikan perusahaan
lain dan pelaku usaha tersebut telah melakukannya atau mempunyai tujuan untuk
melakukannya.
Definisi monopoli dalam pasal 1 butir 1 UU
Antimonopoli adalah”penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha.”selanjutnya,peraturan mengenai monopoli diatur pasal 17 UU Antimonopoli
dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengsakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usah tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
Barang dan jasa yang bersangkutan belum ada
substitusinya
Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat
masuk ke dalam persaingan usaha barang dan jasa yang sama
Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang dan jasa
tertentu.
Pengertian monopoli
secara umum adalah apabila ada satu pelaku usaha -(penjual) yang ternyata
adalah satu-satunya penjual bagi produk barang dan jasa tertentu dan pada pasar
tersebut tidak terdapat produk substitusi (pengganti).
Praktik monopoli
merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan pemasaranbarang atau jasa tertentu
sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
Pemusatan kekuatan
ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar barang atau jasa tertentu
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang dengan penguasaan itu pelaku usaha
tersebut dapat menentukan harga barang atau jasa (price fixing).
b) Monopsoni
monopsoni merupakan
sebuah pasar di mana hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli tunggal.dalam
pasar monopsoni,harga barang atau jasa biasanya akan lebih rendah dari harga
pada pasar yang kompetituif.pembel;i tunggal ini pun biasanya akan menjual
dengan cara monopoli atau dengan harga lebih tinggi.pada kondisi inilah potensi
kerugian masyarakat akan timbul karena pebeli harus membayar dengan harga yang
mahal dan juga terdapat potensi persaingan usaha yang tidak sehat.
UU Antimonopoli pada pasal 18 secara khusus
menegaskan sebagai berikut.
1. Pelaku usaha dilarang mengusasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam pasar
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patit diduga atau dianggap
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berdasarkan isi pasal
18 UU Antimonopoli dapat dikatakan bahwa monopsoni merupakan suatu keadaan
bilamana suatu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli
sebuah produk sehingga perilaku pembeli tunggal tersebut akan dapat
mengakikbatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan tidak sehat dan
apabila pembeli tunggal tersebut juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar
suatu jenis produk atau jasa.
c) Penguasaan pasar
Penguasaan pasar
merupakan keinginan dari hampir semua pelaku usaha.hal ini karena penguasaan
pasar yang cukup besar memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang
mungkin dapat diperoleh oleh pelaku usaha.
UU Antimonopoli dalam pasal 19 mengatur
penguasaan pasar sebagai berikut.
Pelaku usaha dilarang
melakukan satu atau beberapa kegiatan ,baik sendiri maupun bersama pelaku usaha
lain,yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat berupa:
Menolak atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha tertentu untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya
itu
Membatasi peredaran dan penjualan barang
dan jasa pada pasar bersangkutan
Melakukan praktik diskriminasi terhadap
pelaku usaha tertentu
d) Jual rugi (predatory pricing)
Kegiatan jual rugi
(predatory pricing) merupakan suatu bentuk penjualan atau pemasokan barang atau
jasa dengan cara jual rugi yang bertujuan untuk mematikan
pesaingnya.berdasarkan sudut pandang ekonomi,jual rugi dapat dilakukan dengan
menetapkan harga yang tidak wajar,bilamana harga lebih rendah daripada biaya
variabel rata-rata.
Pasal 20 UU
Antimonopoli menyebutkan:
“ pelaku usaha dilarang
melakukan pemasokan barang atau jasa dengan cara melakukan jual beli atau
menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau
mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”
Berdasarkan rumusan 20
UU ini,dapat kita ketahui bahwa tidak semua kegiatan jual rugi atau sangat
murah secara otomatis merupakan perbuatan yang melanggar hukum.
M. KECURANGAN
DALAM MENETAPKAN BIAYA PRODUKSI
UU Antimonopoli juga menganggap bahwa salah satu aspek yang
dapat dipersalahkan sebagai penguasaan pasar yang dilarang adalah kecurangan
dalam menetapkan biaya produksi.Pasal 21 UU Antimonopoli menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan
biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinyapersaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21 ini sebenarnya
berbeda dengan pasal 20,meskipun pada prinsipnya keduanya sama,yaitu pada
akhirnya menjual barang dengan harga di bawah biaya produksi.namun,dalam pasal
21,penekanannya adlah pada kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
berhubungan dengan biasya produksinya. Berdasarkan rumusan pasal 21 UU,dapat
diketahui bahwa pasal ini menganut prinsip rule of reason.dengan
demikian,kalaupun terjadi kecurangan ,si pelaku tidak otomatis melanggar UU
No.5 tahun 1999.Untuk dinyatakan bersalah,haruslah dibuktikan terlebih dahulu
bahwa kecurangan tersebut tidak mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima dan
juga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
N. PERSEKONGKOLAN (CONSPIRACY/COLLUCION)
Pengertian Persekongkolan usaha yang diatur dalam pasal 1 butir 8 UU
Nomor 5 Tahun 1999 yakni ”sebagai bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan
bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”
3 bentuk kegiatan
persekongkolan yang dilarang UU Antimonopoli,yaitu:
1. Persekongkolan tender
Penjelasan pasal 22 UU
Antimonopoli menyatakan bahwa tender merupakan tawaran untuk mengajukan
harga,memborong suatu pekerjaan,mengadakan barang-barang,atau menyediakan jasa.
2. Persekongkolan untuk memperoleh rahasia
perusahaan
Sebagaimana diketahui
yang namanya “rahasia perusahaan” adalah property dari perusahaan yang
bersangkutan.Karena tidak boleh dicuri,dibuka atau dipergunakan oleh orang lain
tanpa seijin pihak perusahaan yang bersangkutan.Ini adalah prinsip hukum bisnis
yang sudah berlaku secara universal.
Larangan bersekongkol
mendapatkan rahasia perusahaan dalam Pasal 23 tersebut menekankan kepada
rahasia perusahaan tersebut. Artinya apabila dapat dibuktikan ada rahasia
perusahaan yang didapati secara bersekongkol, maka larangan oleh pasal pasal
tersebut sudah dapat diterapkan, karena “demi hukum” telah dianggap adnya suatu
persaingan usaha tidak sehat, tanpa perlu harus dibuktitikan lagi persaingan
usasha tidak sehat tersebut.
3. Persekongkolan untuk menghambat pasokan
produk.
Salah satu strategi
tidak sehat dalam berbisnis adalah dengan berupaya agar produk-produk dari si
pesaing menjadi tidak baik dari segi mutu, jumlah atau ketetapan waktu ketersedianya
atau waktu yang telah dipersyratkan.
Karena itu,
Undang-undang Anti Monopoli dengan tegas melarang terhadap setiap
persekongkolan oleh pelaku usaha dengan pihak lain yang dibuat dengan tujuan
untuk menghambat produksi dan atau pemasaran suatu produk dari pelaku usaha
pesaingnya dengan harapan agar produk yang dipasok atau ditawarkan tersebut
menjadi kurang baik dari segi kualitasnya, dari segi jumlahnya, maupun dari
segi ketetapan waktu yang dipersyaratkan.
O. KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA(KPPU) DAN PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN DI
INDONESIA
Peranan KPPU dalam
penegakan Hukum Persaingan di Indonesia.
Untuk mengawasi
pelaksanaan UU Antimonopoli dibentuklah
seuah komisi.Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU Antimonopoli yang
menginstrusikan bahwa pembentukan susunan organisasi,tugas dan fungsi komisi
ditetapkan melalui keputusan Presiden.Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan
Keppres Nomor 75 Tahun 1999 dan diberi naama dengan Komisi Persaingan Usaha
(KPPU).
Berdasarkan Keppres tersebut,penegakan
hukum anti monopoli dan persaingan usaha berada dalam wewenang KPPU.Namun
demikian,tidak berarti baahwa tidak ada lembaga lain yang berwenang untuk
menangani perkara monopoli dan persaingan usaha.Pengadilan Negeri(PN) dan
Mahkamah Agung juga diberikan wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut.PN
diberi wewenang untuk menangani keberatan terhadap putusan KPPU yang sudah in kracht. Sementara
persaingan itu ,MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran
hukum persiangan apabila terjadi kasasi
terhadap putusan PN tersebut.Lebih
lanjut ,sebagai sebuah lembaga yang independen ,dapat dikatakan bahwa
kewenangan yang dimiliki komisi saangat besar yang meliputi juga kewenangan
tersebut meliputi penyidikan ,penuntutan,konsultasi,memeriksa,megadili dan
memutuskan perkara.
P. TUGAS DAN WEWENANG KPPU
Pasal 35 UU
Antimonopoli menentukan bahwa tugas-tugas KPPU adalah sebagai berikut.
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha
dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penilaian terhadap atau tidak adanya
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjainya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha.
4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang
komisi sebagaimana diatur dalam pasal 36 UU Antimonopoli.
5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidaak sehat.
6. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang
berkaitan dengan UU Nomor 5 Tahun 1997.
7. Memberikan laporan secara berkala atas
hasil kerja komisi kepada presiden dan DPR.
Dalam menjjalankan
tugas-tugas tersebut ,melalui Pasal 36 UU Antimonopoli ,KPPU diberikan wewenang
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau
dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidaak sehat.
2. Melakukan penelitian dtentang dugaan adanya kegiatan usaha daan/atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan
terhadap kasus dugaan praktim monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
yang dilaporkan oleh masyarakat atau
oleh pelaku usaha atau yang ditemukan sebagai komiisi hasil penelitianya.
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau
pemeriksaan tentang ada tau tidak adanya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaaha tidak sehat.
5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU Antimonopoli.
6. Memanggil daan menghhadirkan saksi ,saksi
aahli,dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan UU
Antimonopoli.
7. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha,saksi,saksi ahli,atau setiap orang yang dimaksud dalam poin 5 dan 6
tersebut diatas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi 8
8. Meminta keterangan dari instansi pemerintah
dalam kaitanya dengan penyelidikan
dan/atau pemeiksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU
Antimonopoli.
9. Mendapatkan meneliti,dan/atau menilai surat
,dokumen ,atau alat bukti lain untuk keperluan penyelidikan dan/atau
pemeriksaan.
10. Memutuskan dan menetapkan ada tau tidak
adanya kerugian dipihak pelaku usaha
lain atau masyarakat.
11. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
12. Manjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada pelaku usaaha yang melanggar ketentuan UU Antimonopoli.
Jadi ,KPPU berwenang
dalam melakukan penelitian daan penyelidikan dan akhirnya memutuskan apakah
pelaku usaha tertentu telah melanggar UU Antimonopoli atau tidak.Pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap putusan KPPU tersebut diberikan kesempatan selama 14
(empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut untuk
mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.
KPPU merupakan lembaga administratif .Sebagai lembaga administratif KPPU bertindak untuk
kepentingan umum.KPPU berbeda dengan pengadilan perdata yang menangani hak-hak subjektif
perorangan.Oleh karena itu ,KPPU harus mementingkan kepentingan umum daripada
kepentiingan perorangan dalam menangani dugaan pelanggaran hukum Antimonopoli
.Hal ini sesuai dengan tujuan UU Antimonopoli yang tercntum dalam pasal 3 huruf
a UU Antimonopoli . Yakni”Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk mensejahterakan rakyat”.