Hubungan antara Hukum dan Moral dalam
Islam
1.
Moral
a.
Definisi Moral
Secara etimologis moral berasal dari
bahasa Belanda moural, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut
W.J.S. Poerwadarminta moral berarti “ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakukan.[1]Dalam Islam, moral dikenal dengan istilah akhlak. Al-Ghazali dalam
karyanya Ihya Ulumuddin menerangkan tentang definisi akhlak sebagai berikut :
Akhlak adalah perilaku jiwa, yang
dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan.[2] Lebih lanjut bahwa al-Ghazali memaparkan secara eksplisit
tentang teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
a)
Bahwa dengan mempelajari akhlak sebagai studi murni teoritis, yang
berusaha memahami ciri kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi
perilaku orang yang berusaha mempelajarinya.
b) Mempelajari akhlak sehingga akan
meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari.
c) Karena akhlak terutama merupakan
subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan tentang hal-hal moral.[3]
Beliau juga menekankan bahwa induk atau
prinsip dari budi pekerti itu ada empat yaitu : 1) Kebijaksanaan (al-hikmah) 2)
keberanian 3) menjaga diri dan 4) keadilan. Bilamana ada insan yang dapat
melaksanakan empat prinsip ini, maka akan keluarlah akhlak yang baik secara
keseluruhannya.[4]
Bagi umat Islam pendasaran baik dan
buruk bagi perbuatan adalah kepada kitab pedomannya, yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah. Apa yang dinyatakan baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi umat
manusia, demikian pula yang buruk.
b.
Landasaran Ajaran Moral.
Allah SWT berfirman :
77. Berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu.
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Tidaklah
aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Bukhari,
Ahmad dan Baihaqi)
Dengan begitu, esensinya bahwa moral
merupakan patokan utama dalam bertindak setiap insan yang diciptakan-Nya.
Sehingga pengaturan moral pun secara gamblang dijelaskan di dalam beberapa
firman-Nya dan Sunnah.
2.
Hukum Islam dan Moralitas
a.
Urgensi Moral dalam Hukum
Agama biasa dipahami sebagai hal yang hanya membicarakan masalah-masalah
spiritual. Lantaran pemahaman itu, antara agama dan hukum sering dianggap tidak
sejalan. Hukum ada untuk memenuhi kebutuhan sosial. Sedangkan agama adalah
untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar tidak menyimpang dari
jalurnya, yaitu norma-norma etika yang ditentukan oleh agama itu sendiri.
Islam berbeda dari agama lain, karena hukum dan agama, hukum dan moral tidak
dapat dipisahkan begitu saja disebabkan diantara memiliki korelasi yang sangat
kuat. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum Islam mencakup semua bentuk
hubungan, baik kepada Tuhan (hablunminallah) dan kepada manusia
(habuluminannas). Karena asal-usul, sifat dan tujuannya, hukum Islam secara
ketat diika dengan etika agama.[5]
Syari’ah Islam adalah kode hukum dan kode moral sekaligus (dalam konteks
islam). kedua hal tersebut merupakan pola yang luas tentang tingkah laku
manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi. Sehingga
garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara
jelas seperti masyarakat Barat pada umumnya. Itulah sebabnya mengapa misalnya,
kepentingan dan signifikansi semacam itu melekat pada putusan ulama.
Contoh hukum islam lain yang sangat mengutamakan moralitas adalah dalam
hukum pidana Islam. dalam hukum pidana islam terdapat ketentuan bahwa orang
yang melakukan zina (hubungan seksual diluar nikah – ghairu muhsan) diancam
dengan pidana cambuk seratus kali di depan khalayak umum.
2. perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.[6]
Dengan begitu dapat kami simpulkan bahwasanya etika/moral saling
memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Etika menyelidiki, memikirkan, dan
mempertimbangkan tentang yang baik dan buruk, sementara moral menyatakan ukuran
yang baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan sosial tertentu. Etika
memandang laku perbuatan manusia secara universal, moral secara tempatan. Moral
menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. Moral sesungguhnya dibentuk
oleh etika. Moral bermuara atau buah dari etika.
Maka esensinya adalah bahwa etika/moral merupakan salah satu objek dari
kajian filsafat hukum yang banyak sekali membicarakan tentang baik atau buruk,
pantas atau tidak pantas dalam menerapkan segala sesuatunya terhadap objek
lain. Hal ini dibuktikan bahwasanya pembentukan hukum akan sangat bergantung
dari etika dan moral yang berlaku. Akhirnya antara kedua aspek mengenai
etika/moral beserta hukum (hukum konvensial yang banyak menyerap konsepsi barat
dan hukum islam sekalipun) merupakan suatu fase simbiosis mutualisme yang tidak
dapat dipisahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar